Selasa, 02 Juni 2009

4 BULAN PANEN BELUT!!

Membesarkan belut hingga siap panen dari bibit umur 1-3 bulan butuh waktu tujuh bulan. Namun, Ruslan Roy, peternak sekaligus eksportir di Jakarta Selatan, mampu menyingkatnya menjadi empat bulan. Kunci suksesnya antara lain terletak pada media dan pengaturan pakan.

Belut yang dipanen Ruslan rata-rata berbobot 400 g/ekor. Itu artinya sama dengan bobot belut yang dihasilkan peternak lain. Cuma waktu pemeliharaan yang dilakukan Ruslan lebih singkat tiga bulan dibanding mereka. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan Ruslan pun jauh lebih rendah. Selain menekan biaya produksi, panen dalam waktu singkat itu mampu mendongkrak ketersediaan pasokan, ujar Ruslan.

Pemilik PT Dapetin di Jakarta Selatan itu hanya mengeluarkan biaya Rp 8.000 untuk setiap kolam berisi 200 ekor. Padahal, biasanya para peternak lain paling tidak menggelontorkan Rp 14.000 untuk pembesaran jumlah yang sama. Semua itu karena Ruslan menggunakan media campuran untuk pembesarannya.

Media campuran

Menurut Ruslan, belut akan cepat besar jika medianya cocok. Media yang digunakan ayah tiga anak itu terdiri dari lumpur kering, kompos, jerami padi, pupuk TSP, dan mikroorganisme stater. Peletakkannya diatur: bagian dasar kolam dilapisi jerami setebal 50 cm. Di atas jerami disiramkan 1 liter mikroorganisma stater. Berikutnya kompos setinggi 5 cm. Media teratas adalah lumpur kering setinggi 25 cm yang sudah dicampur pupuk TSP sebanyak 5 kg.

Karena belut tetap memerlukan air sebagai habitat hidupnya, kolam diberi air sampai ketinggian 15 cm dari media teratas. Jangan lupa tanami eceng gondok sebagai tempat bersembunyi belut. Eceng gondok harus menutupi ¾ besar kolam, ujar peraih gelarMaster of Management dari Philipine University itu.

Bibit belut tidak serta-merta dimasukkan. Media dalam kolam perlu didiamkan selama dua minggu agar terjadi fermentasi. Media yang sudah terfermentasi akan menyediakan sumber pakan alami seperti jentik nyamuk, zooplankton, cacing, dan jasad-jasad renik. Setelah itu baru bibit dimasukkan.

Pakan hidup

Berdasarkan pengalaman Ruslan, sifat kanibalisme yang dimiliki Monopterus albus itu tidak terjadi selama pembesaran. Asal, pakan tersedia dalam jumlah cukup. Saat masih anakan belut tidak akan saling mengganggu. Sifat kanibal muncul saat belut berumur 10 bulan, ujarnya. Sebab itu tidak perlu khawatir memasukkan bibit dalam jumlah besar hingga ribuan ekor. “Dalam 1 kolam berukuran 5 m x 5 m x 1 m, saya dapat memasukkan hingga 9.400 bibit,” katanya.

Pakan yang diberikan harus segar dan hidup, seperti ikan cetol, ikan impun, bibit ikan mas, cacing tanah, belatung, dan bekicot. Pakan diberikan minimal sehari sekali di atas pukul 17.00. Untuk menambah nafsu makan dapat diberi temulawak Curcuma xanthorhiza. Sekitar 200 gram temulawak ditumbuk lalu direbus dengan 1 liter air. Setelah dingin, air rebusan dituang ke kolam pembesaran. “Pilih tempat yang biasanya belut bersembunyi,” ujar Ruslan.

Pelet ikan dapat diberikan sebagai pakan selingan untuk memacu pertumbuhan. Pemberiannya ditaburkan ke seluruh area kolam. Tak sampai beberapa menit biasanya anakan belut segera menyantapnya. Pelet diberikan maksimal tiga kali seminggu. Dosisnya 5% dari bobot bibit yang ditebar. Jika bibit yang ditebar 40 kg, pelet yang diberikan sekitar 2 kg.

Hujan buatan

Selain pakan, yang perlu diperhatikan kualitas air. Bibit belut menyukai pH 5-7. Selama pembesaran, perubahan air menjadi basa sering terjadi di kolam. Air basa akan tampak merah kecokelatan. Penyebabnya antara lain tingginya kadar amonia seiring bertumpuknya sisa-sisa pakan dan dekomposisi hasil metabolisme. Belut yang hidup dalam kondisi itu akan cepat mati, ujar Son Son. Untuk mengatasinya, pH air perlu rutin diukur. Jika terjadi perubahan, segera beri penetralisir.

Kehadiran hama seperti burung belibis, bebek, dan berang-berang perlu diwaspadai. Mereka biasanya spontan masuk jika kondisi kolam dibiarkan tak terawat. Kehadiran mereka sedikit-banyak turut mendongkrak naiknya pH karena kotoran yang dibuangnya. Hama bisa dihilangkan dengan membuat kondisi kolam rapi dan pengontrolan rutin sehari sekali, tutur Ruslan.

Suhu air pun perlu dijaga agar tetap pada kisaran 26-28oC. Peternak di daerah panas bersuhu 29-32oC, seperti Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi, perlu hujan buatan untuk mendapatkan suhu yang ideal. Son Son menggunakan shading net dan hujan buatan untuk bisa mendapat suhu 26oC. Bila terpenuhi pertumbuhan belut dapat maksimal, ujar alumnus Institut Teknologi Indonesia itu.

Shading net dipasang di atas kolam agar intensitas cahaya matahari yang masuk berkurang. Selanjutnya tiga saluran selang dipasang di tepi kolam untuk menciptakan hujan buatan. Perlakuan itu dapat menyeimbangkan suhu kolam sekaligus menambah ketersediaan oksigen terlarut. Ketidakseimbangan suhu menyebabkan bibit cepat mati, ucap Son Son.

Hal senada diamini Ruslan. Jika tidak bisa membuat hujan buatan, dapat diganti dengan menanam eceng gondok di seluruh permukaan kolam, ujar Ruslan. Dengan cara itu bibit belut tumbuh cepat, hanya dalam tempo 4 bulan sudah siap panen.

Bak itu sekadar tempat singgah. Setelah 1-2 hari dikarantina, belut yang terkumpul itu disortir. Belut kualitas ekspor dipilih berbobot 200-250 g/ekor dan panjang 40-60 cm. Syarat lain: kulit mulus dan lincah bergerak. Belut kemudian dikemas dalam kantong plastik berdiameter 50 cm, lalu diberi 2 liter air. Satu kantong plastik berisi 20 kg. Setelah diberi oksigen, kantong itu diikat dan dimasukkan ke dalam dus ukuran 70 cm x 70 cm x 60 cm untuk keesokan hari diangkut ke bandara.

Ardiyan menerbangkan 4-5 ton/bulan belut ke Singapura, Hongkong, dan Korea. Dengan harga jual US$4,5 atau setara Rp40.950 per kg (kurs 1 US$D=Rp9.100), Ardiyan meraup omzet Rp163,8-juta-Rp204,7-juta/bulan. Setelah dikurangi biaya pembelian belut dari para plasma, ongkos kirim, dan biaya operasional lain, Ardiyan mengutip laba Rp5.000-Rp7.000/kg. Setidaknya Rp20-juta-Rp35-juta mengalir ke koceknya setiap bulan.

Jumlah itu tak seberapa dibanding banyaknya permintaan yang terus mengalir. ‘Singapura minta dipasok 1 ton/hari, Hongkong 5-10 ton/pekan, dan Korea 3 ton/hari,’ tutur alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Solo itu. Beberapa negara Uni Eropa seperti Belanda dan Belgia juga menanti pasokan masing-masing 23 ton dan 20 ton per tahun.

Menurut Pusat Informasi Pasar Asia Pasifik Kedutaan Besar Kanada di Beijing, Cina, selain Hongkong dan Korea, negara konsumen belut lainnya adalah Jepang, Amerika Serikat, dan Kanada. Jepang terbesar dengan kebutuhan 130.000-140.000 ton/tahun. Pasokan selama ini diperoleh dari Cina. Negeri Tirai Bambu itu dikenal sebagai produsen belut terbesar di dunia. Ia memasok 70% dari total kebutuhan belut dunia yang mencapai 230.000 ton/tahun. Artinya, ceruk pasar belut dunia yang belum terisi sekitar 69.000 ton per tahun.

Badan Pusat Statistik mencatat, volume ekspor dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2004, volume ekspor hanya 42.581 kg. Setahun berikutnya melonjak menjadi 106.687 kg.

Permintaan belut tak hanya mengalir dari mancanegara. Ardiyan menuturkan pasar lokal juga menantang. Sentra makanan olahan di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, butuh pasokan 7-8 ton/hari, Solo dan Klaten 8 ton/hari, dan Jakarta 2 ton/hari. Dari jumlah itu baru sekitar 500-700 kg/bulan yang terpenuhi.

Budidaya

Peluang itulah yang kini dikejar Ardiyan. Namun, pasokan yang seret menjadi batu sandungan. Padahal harga beli yang ditawarkan cukup menggiurkan, Rp20.000/kg kualitas ekspor. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga di pasar lokal, Rp9.000-Rp12.000 per kg.

Pasokan seret lantaran Ardiyan mengandalkan belut tangkapan alam. ‘Jumlah peternak belut saat ini masih sedikit,’ katanya. Akibatnya, ketersediaan pasokan bergantung kondisi alam. Pasokan melimpah saat hujan. Saat kemarau sebaliknya. Selain itu, ukuran belut hasil tangkapan alam beragam. ‘Rata-rata hanya 30% yang memenuhi syarat ekspor,’ katanya.

Kurangnya pasokan belut membuat PT Budi Menani Agung, eksportir belut di Jakarta, terpaksa mengurangi frekuensi pengiriman ke Cina. Pengiriman yang semula 3 kali seminggu kini hanya 2 kali. Sekali kirim rata-rata mencapai 1 ton.

Ardiyan berharap kekurangan pasokan itu dapat dipenuhi para peternak. Oleh sebab itulah ia rela mengunjungi berbagai daerah untuk menjaring peternak mitra. Ardiyan pun menjamin menampung hasil panen. Harga belut kualitas ekspor Rp20.000/kg.

Kian ramai

Sejak diekspose Trubus pada September 2006, perbincangan bisnis belut di situsTrubus kian ramai. Begitu juga milis-milis di situs lain. Pelatihan budidaya belut yang diselenggarakan selalu kebanjiran peserta. Bahkan, kini berdiri klub budidaya belut yang anggotanya mencapai 105 orang.

Kisah sukses Sonson Sundoro, Ruslan Roy, Hj Komalasari, dan M Ara Giwangkara juga turut mendorong minat para investor. (baca: Mari Rebut Pasar Belut, Trubus edisi September 2006). Mereka lebih dulu mendulang laba dari belut. Menurut hitung-hitungan Ardiyan, investasi awal untuk pembuatan kolam terpal luasan 6 m x 7 m sekitar Rp890.000. Ditambah biaya produksi Rp1.529.000, total biaya mencapai Rp2.419.000.

Dari 20 kg bibit isi 200-220 ekor/kg, diperkirakan menghasilkan 300 kg setelah 4- 5 bulan pemeliharaan. Dengan harga jual Rp20.000/kg (harga kualitas ekspor), total omzet Rp6-juta. Setelah dikurangi biaya produksi, total keuntungan mencapai Rp3.581.000/musim tebar atau Rp716.200-Rp895.250/bulan. Itu keuntungan di awal investasi. Pada periode tanam berikutnya, laba lebih tinggi yaitu Rp4.471.000V/musim atau Rp894.200-Rp1,1-juta/bulan.

Pantas bila para peternak baru bermunculan di berbagai daerah seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satunya Tjandra Warasto di Parung, Bogor, menggelontorkan ratusan juta rupiah untuk membangun 24 kolam permanen berukuran 5 m x 5 m. Pada September 2006, ia menebar 240 kg bibit. ‘Akhir Maret ini diharapkan sudah bisa dipanen,’ kata pengusaha periklanan itu.

Nun di Boyolali, Jawa Tengah, Muharni juga tergiur menggeluti belut. Lahan seluas 60 m2 di belakang rumah disulap menjadi 8 kolam berukuran 2 m x 3,5 m. Empat di antaranya telah diisi 49 kg bibit. Ibu 2 anak itu memperkirakan akan panen pada Mei 2007.

Di beberapa daerah, kelompok-kelompok pembudidaya belut mulai bermunculan. Dony Fitriandi ST MT, menghimpun 25 peternak di Sragen, Jawa Tengah, untuk mengelola 100 kolam. Arsitek alumnus Universitas Negeri Sebelas Maret itu juga membuat 3 kolam seluas 24 m2. Di Magetan, Jawa Timur, Ardiyan membina plasma yang mengelola 300 kolam.

Sarat kendala

Sayang, pesatnya laju pertumbuhan peternak belut itu tak diimbangi pasokan bibit yang memadai. Menurut pengalaman beberapa peternak, pembibitan belut sulit. Selain itu, hingga kini belum ada penelitian soal perlakuan yang dapat memacu reproduksi belut. Wajar bibit tangkapan alam diburu. Hal itu turut memicu kenaikan harga. ‘Kalau dulu Rp10.000/kg, sekarang rata-rata Rp27.500/kg,’ ujar Hj Komalasari, penyedia bibit di Sukabumi, Jawa Barat.

Bibit alam juga bukan garansi sukses. ‘Dari 100 kg bibit yang ditebar, separuhnya mati,’ kata Catur Budiyanto, peternak di Gunungputri, Bogor. Pengalaman pahit juga dialami Ganjar Ariacipta. Lima belas kilogram bibit yang ditebar di kolam berukuran 3 m x 5 m seluruhnya mati. ‘Mungkin airnya kurang cocok,’ kata peternak di Sadang Serang, Bandung, itu.

Ardiyan menduga, bibit mati akibat penangkapan dengan setrum. Arus listrik menyebabkan belut stres. Kalaupun bertahan hidup, pertumbuhannya pasti terhambat. Oleh sebab itu, pilih bibit yang ditangkap dengan bubu. Media matang juga penting. Cirinya: air di dalam kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Hindari penebaran bibit dalam jumlah besar. Masukkan dulu 1-5 bibit. Bila belut menelusup ke dalam media, pertanda media siap digunakan. Namun, bila beberapa waktu belut tetap di permukaan, media belum matang benar.

Ardiyan menuturkan, teori-teori dan praktek di lapangan seringkali berbenturan. ‘Media yang saya ramu sesuai dengan yang dianjurkan dalam pelatihan. Tetap saja mati,’ kata Catur. ‘Karena itu, peternak mesti berani bereksperimen,’ ujar Ardiyan. Lihat yang dilakukan Wawan, peternak di Bandung. Ia memberi kotoran cacing alias kascing pada media. Alhasil, dari 15 kg bibit berisi 100 ekor/kg, dapat dipanen 75 kg belut berbobot rata-rata 100 g/ekor dalam waktu 4 bulan.

Meski Wawan berhasil, tapi tak mudah memasarkan belut. Rona bahagia di wajah Wawan seketika muram saat eksportir yang berjanji menampung panennya susah ditemui. Khawatir belut-belut itu mati, Wawan melepas ke pasar becek dengan harga Rp11.000/kg. Harga itu jauh lebih rendah ketimbang janji muluk eksportir Rp20.000 kg. ‘Saya hanya mengantongi Rp825.000,’ ujar Wawan.

Oligopsoni

Hasil lacakan Trubus, saat ini baru terdapat 4 eksportir belut: Sonson Sundoro (PT Dapetan Eel Farm, Bandung), Ruslan Roy (PT Dapetin, Jakarta), Ardiyan Taufik (Jakarta dan Solo), dan Hidayat Wijaya (PT Budi Menani Agung, Jakarta). Jumlah eksportir yang masih sedikit itu dikhawatirkan menciptakan kondisi oligopsoni: pemasok bertambah banyak sementara pembeli terbatas. Kondisi itu melemahkan posisi tawar peternak. Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila kelak pasar jenuh dan jumlah peternak kian bertambah.

Oleh sebab itu, Tjandra tak mau menyandarkan pasar pada para eksportir. Ia giat menciptakan pasar sendiri. Pria 39 tahun itu menampung belut dari para penangkap di seputar Jabodetabek lalu dijual ke pasar lokal. Meski baru beberapa bulan berjalan, kini ia menjual setidaknya 500-1.000 kg/bulan. Dengan begitu, Tjandra berharap pasar belut tetap melaju. (Imam Wiguna/Peliput: Hermansyah)

Media Instan:
Dari Kantong Jadi Belut

Akhir Juli 2006 Chrisno Feryadi menabur 20 kg serbuk kehitaman dalam drum berdiameter 50 cm. Setelah disiram air, lantas diaduk-aduk hingga mirip lumpur. Suspensi itu kemudian didiamkan 2 hari sampai terpecah menjadi dua bagian: endapan serbuk dan air. Saat itu pula 75 bibit belut sepanjang 10-15 cm dimasukkan. Enam bulan kemudian belut-belut itu siap dipanen.

Bobot belut yang dipelihara di drum itu rata-rata 200 g/ekor, sama dengan budidaya di kolam. Yang berbeda lama pemeliharaan. Belut di drum perlu waktu 2,5 bulan lebih lama. Hal itu terjadi karena ruang gerak Monopterus albus itu tidak selonggar bila dipelihara di kolam. Toh hal itu tidak menjadi persoalan.

Sejak 8 bulan lalu Chrisno dapat beternak belut di sembarang tempat. Drum itu hanya satu contoh. Yang agak ekstrim, Ipenk-panggilan akrab Chrisno-pernah mencoba melakukannya di dalam 3 ember plastik berdiameter 25 cm. Hasilnya bibit belut tumbuh besar. Dalam tempo 6 bulan bobotnya mencapai 150 g/ekor.

Semua itu berkat serbuk kehitaman andalan Ipenk yang mudah diaplikasi dan ditenteng ke berbagai lokasi. Serbuk itu adalah media instan kering. Karena praktis-tinggal tabur, siram air, tunggu mengendap, lalu tebar bibit-maka banyak peternak di Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah, tertarik. Mereka kagum lantaran bibit belut itu bisa ditebar setelah 2 hari kolam diberi media. Bandingkan dengan cara konvensional. Dari proses pematangan media hingga bibit siap tebar menyita waktu 2-4 minggu.

Ganti komposisi

Racikan media instan pemangkas waktu tebar bibit itu 70% bahan bakunya sama seperti budidaya konvensional. Yang sulit memperoleh bahan baku dari jerami padi, pelepah pisang, pupuk kandang, dan kompos dengan komposisi pas.

Awalnya ayah 2 putra itu merajang jerami padi dan pelepah pisang dengan slicer-semacam pisau-sampai setebal 1 cm. Campuran itu-sebut saja komposisi A-kemudian ditambah campuran pupuk kandang dan kompos-sebut saja komposisi B. Perbandingan antarkomposisi itu dibuat 1:3. Campuran abu-abu kehitaman itu lantas dijemur selama 5 hari berturut-turut hingga kadar airnya sekitar 5%. Tandanya saat diremas tangan langsung hancur layaknya kompos.

Sebanyak 120 kg media perdana itu ditabur pada kolam percobaan berukuran 6 m x 3 m. Di sana ditebar pula 2.700 bibit. Saat dipanen 5 bulan kemudian hanya diperoleh 40%, setara 810 belut yang hidup. Hasil itu jauh dari memuaskan bila dibandingkan budidaya konvensional yang tingkat kematiannya berkisar 30%. ‘Mungkin karena adaptasi bibit alam yang kurang,’ ujar staf sumberdaya manusia PT Garuda Indonesia di Jakarta itu.

Dugaan itu mentah saat ujicoba memakai bibit alam yang sudah beradaptasi di kolam konvensional. Hasilnya tetap tidak memuaskan. ‘Mungkin campuran media yang kurang sesuai,’ pikir Ipenk. Sebab itu pula komposisi media awal itu diubah. Kini komposisi A dibuat perbandingan berbeda. Tidak 1:1, tapi 1:2. Demikian pula komposisi B. Jumlah pupuk kandang dikurangi dan kompos tetap, 1:2.

Campuran itu masih ditambah bekatul dan lumpur kering masing-masing sebanyak 0,4 bagian. ‘Bekatul dipakai sebagai perekat. Pupuk kandang dikurangi karena proses penguraiannya terlalu lama,’ ujarnya. Media itu lantas diberi stater, konsentrat mikroorganisme sebanyak 0,6 bagian. Campuran itu lantas diperam 7-14 hari hingga terfermentasi sempurna. Campuran akhir terlihat seperti serbuk kopi, berwarna hitam pekat. Saat ditaruh di air, serbuk itu tidak mengeluarkan gas amonia.

Saat diuji kembali pada kolam dan jumlah bibit sama, media instan baru itu menuai hasil menggembirakan. Tingkat mortalitas turun hingga di bawah 10%. Bahkan khusus di kolam, bobot 200 g/ekor dapat dicapai dalam tempo 4,5 bulan. Peternak konvensional butuh waktu minimal 6 bulan. ‘Mortalitas pernah mencapai angka nol persen,’ ujarnya.

Terobosan baru

Menurut Dr Ir Ridwan Affandi, DEA, temuan Ipenk itu terobosan baru. ‘Selama ini budidaya konvensional dianggap terbaik,’ ujar peneliti ikan konsumsi dari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor itu. Ridwan menduga, kecepatan pertumbuhan karena diiringi munculnya pakan alami. ‘Komposisi media itu bisa menumbuhkan cacing, insekta air, protozoa, infusoria, gastrophoda, fitoplankton, dan zooplankton,’ tambah alumnusUniversite De Paris VI di Perancis itu.

Meski demikian menurut Ardyant Taufik, peternak di Solo, sumber pakan alami yang dibentuk media instan tetap perlu disokong pakan alami lain. ‘Pertumbuhan belut akan makin baik jika diberi anakan ikan mas, ikan cetol, bekicot, dan keongmas,’ ujar alumnus Jurusan Hukum, Universitas Muhammadiyah Solo yang sudah menerapkan media instan pada plasmanya itu.

Menurut Ipenk, keunggulan lain dari media instan terletak pada sirkulasi air. ‘Kolam tidak perlu diberi arus,’ ujarnya. Cara konvensional, arus air tetap diperlukan sebagai sumber oksigen terlarut. ‘Oksigen tetap diperoleh asalkan ketinggian air diatur sekitar 3 cm saja,’ tambahnya. Istimewanya lagi pemanfaatan eceng gondok Eichornia crassipessebagai peneduh yang lazim diterapkan peternak konvensional tidak dibutuhkan lagi. Maklum media instan itu sudah dapat melindungi belut dari sengatan matahari.

Upaya keras Chrisno Feryadi menciptakan media instan patut mendapat acungan jempol. ‘Penemuan itu sangat membantu peternak pemula yang selalu kesulitan mendapat bahan baku media,’ ujar Sonson Sundoro, pemilik PT Dapetan, eksportir belut di Bandung. Jadi, mau beternak belut? Siapkan ember, tabur media, siram air, dan cemplungkan belut. Praktis. Media instan menjadi solusi terbaik.

untuk lengkapnya klik disini.